
Produksi batubara PT Adaro Energy Tbk (ADRO) sepanjang 2019 mencapai 58,03 juta ton. Realisasi ini sekitar 7% lebih tinggi daripada realisasi di 2018. Produksi batubara di 2019 juga melampaui panduan 2019 yang ditetapkan, yakni sebesar 54 juta ton-56 juta ton.
Adapun penjualan batubara Adaro mencapai 59,18 juta ton, atau naik 9% yoy. Wilayah Asia Tenggara tetap merupakan tujuan penjualan utama, dengan meliputi 42% dari penjualan ADRO sepanjang 2019.
Permintaan batubara dari negara-negara Asia Tenggara seperti Vietnam, Malaysia dan Filipina meningkat berkat tingginya permintaan listrik untuk memenuhi penambahan kapasitas pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) baru.
Tahun ini, Adaro menargetkan produksi batubara mencapai 54 juta ton-58 juta ton. Head of Corporate Communication Adaro Energy Febriati Nadira mengatakan, tahun ini masih merupakan tahun yang penuh tantangan bagi industri batubara. Di tengah kondisi yang sulit tersebut, Adaro akan terus berfokus pada keunggulan operasional dan efisiensi.
Kata Febriati, pihaknya juga tetap optimistis dengan fundamental pasar batubara di jangka panjang dan terus mengeksekusi strategi perusahaan yang dirancang untuk bisnis yang berkelanjutan.
"Kami akan menjaga tingkat produksi batubara guna menjaga cadangan batubara jangka panjang untuk pengembangan bisnis pembangkit listrik ke depan," ujar dia ke KONTAN, Selasa (18/2).
Untuk mengurangi ketergantungan terhadap harga batubara termal, ADRO telah melakukan diversifikasi bisnis melalui delapan pilar bisnisnya, yakni Adaro Mining, Adaro Services, Adaro Logistics, Adaro Power, Adaro Land, Adaro Water, Adaro Capital dan Adaro Foundation.
Sebagai contoh, ke depan, bisnis metallurgical coal atau coking coal harus tumbuh agresif agar kontribusinya ke Adaro Grup bisa meningkat secara signifikan.
Selain itu, Adaro juga mengembangkan non-coal power dan mempelajari berbagai model bisnis energi alternatif yang mungkin akan berkembang di masa depan. Hingga kuartal tiga tahun lalu, kontribusi dari pilar-pilar non pertambangan Adaro terhadap EBITDA mencapai 45%.
Kestrel pendorong
Tahun ini ADRO menyiapkan capex sebesar US$ 300 juta-US$ 400 juta. Kata Febriati, capex tahun ini bakal digunakan untuk perawatan berkala (regular maintenance). Selain itu, capex juga akan digunakan untuk pengembangan Adaro MetCoal. "Pemenuhan dana capex akan berasal dari kas internal perusahaan, ujar Febriati.
Dari sisi kinerja keuangan, emiten pertambangan ini menargetkan earnings before interest, taxes, depreciation, and amortization (EBITDA) tahun ini berkisar US$ 900 juta sampai US$ 1,2 miliar.
Sementara itu, Analis Samuel Sekuritas Indonesia Dessy Lapagu menilai target produksi ADRO tahun ini sudah cukup moderat, dengan pertimbangan tren harga batubara global yang sedang melemah.
Dessy menilai, upaya diversifikasi usaha ADRO yang salah satunya membangun pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) oleh entitas usaha PT Bhimasena Power Indonesia (BPI) dan PT Tanjung Power Indonesia (TPI) belum mampu menopang kinerja ADRO.
"Kami menilai diversifikasi tersebut belum akan mendorong performa ADRO secara signifikan karena total penyerapan kedua PLTU tersebut juga hanya sebesar 8 juta ton per tahun atau hanya 14% dari total produksi ADRO secara tahunan, ujar Dessy kepada KONTAN, Selasa (18/2).
Dessy melihat, justru salah satu entitas usaha ADRO, yakni Kestrel Coal Mine (Kestrel), dalam jangka panjang diekspektasikan dapat mendorong laba bersih perseroan ini. Tahun lalu produksi Kestrel mencapai 6,76 juta ton dan tahun ini meningkat menjadi 7,2 juta ton.