
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sudah memastikan perpanjangan pemberlakuan domestic market obligation (DMO) batu bara. Tengah dikaji juga rencana pemberian sanksi dan denda bagi kontraktor yang mangkir di tahun depan.
Menanggapi hal ini Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan sebagai kontraktor pihaknya akan mengikuti regulasi tersebut.
Meski awalnya APBI berharap agar pemerintah mempertimbangkan pengembangan sektor industri pertambangan batu bara sebagai industri andalan untuk penerimaan negara dan juga untuk ketahanan energi nasional. "Dengan akan dilanjutkannya capped harga US$ 70 dan besaran 25%, permasalahan tentu akan muncul terkait dengan penetapan produksi. Dengan demand domestik yang belum meningkat signifikan, dengan 25% tingkat produksi menjadi faktor penting," ungkapnya saat dihubungi, Senin, (30/12/2019).
Menurutnya intervensi pada harga komoditas memiliki dampak negatif. Dalam kondisi tertentu, imbuhnya, pengusaha akan lebih memilih denda daripada memasok PLN. Hal ini menurut Hendra akan berpotensi mengancam pasokan dalam negeri. "Untuk pembayaran denda berdasarkan kualitas, hal ini akan menyulitkan produsen yang produk batu baranya memiliki beragam kualitas," imbuhnya.
Sementara Ketua Umum Indonesia Mining and Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo memberikan beberapa catatan kepada pemerintah. Pertama, DMO batu bara pada dasarnya bukan sebatas menghitung prosentase atas proyeksi kebutuhan batu bara di dalam negeri dibandingkan total produksi. "Tapi di dalam implementasi DMO pada dasarnya harus lebih dilihat sebagai masalah mata rantai logistik," terangnya saat dihubungi, Senin,(30/12/2019).
Kedua, PLTU batu bara skala besa yang dimiliki PLN atau Independent Power Producer (IPP) memiliki kontrak jangka panjang. Sehingga DMO 25% bukan ruang terbuka yang semua penambang dapat memanfaatkan besarnya DMO.
Ketiga, kualitas yang tidak mudah diterima. Pasalnya baik kalori terlalu rendah ataupun tinggi/coking coal tidak mudah mendapatkan volume DMO. "Juga pada masalah loading capacity di pelabuhan penambang dengan pelabuhan PLTU. Bisa jadi tambang hanya dapat memerima skala tug/barge tapi pelabuhan unloading harus menggunakan kapal handy atau panamax size," terangnya.
Dirinya meminta agar denda yang diberikan berdasarkan parameter kualitas batu bara dan prosentasi dari harga. Jika tidak berdasarkan prosentasi harga tidak fair bagi perushaan tambang, karena pinalti terkait dengan harga.
"Dan jika harga rendah maka tentunya penalti juga mengecil (kalau fix USD/per ton tanpa prosentasi) maka akan memperberat. Apalagi ketidakmampuan bisa jadi diakibatkan bukan kesalahan perusahaan, misalnya pasar yang memang tidak dapat menyerap kualiatas batubara yang ada," imbuhnya.
Sebelumnya, Kementerian ESDM tengah mengevaluasi sanksi kewajiban batu bara dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) tahun 2020. Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengatakan ada beberapa opsi dari sanksi tersebut, bisa berupa denda, transfer kuota, dan lainnya.
"Masih dievaluasi. Denda, transfer kuota, kan itu opsi-opsinya," ungkapnya saat ditemui di Kementerian ESDM Jumat malam, (27/12/2019).
Sementara, Menteri ESDM Arifin Tasrif memastikan DMO tahun 2020 tidak berubah. Artinya target DMO tetap 25% dari produksi batu bara dan harganya US$ 70/ton. "Tetap, tetap lanjut stabil. Iya (tidak ada perubahan aturan), sama lah biasa (25%)," ungkapnya.
Untuk memastikan DMO batu bara, Arifin sudah menyiapkan kerangka regulasi berupa peraturan menteri (Permen). Menurut Arifin, arah dari kebijakan ini adalah untuk menjaga tarif listrik. "Ya kita ke arah sana, kita stabil dulu. Ekonomi global kan belum baik ya kan dan kita perlu industri untuk bangkit," paparnya.